2020 adalah tahun kesebelas sejak batik ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak Benda. Selama sebelas tahun pula, tiap 2 Oktober media sosial akan dibanjiri dengan beragam foto dan ucapan terkait dengan Hari Batik Nasional lengkap dengan tagar yang sesuai. Nah, kali ini tim Wastra Raya ingin mengajak kita semua untuk merayakannya dengan sedikit berbeda. Barangkali dengan melihat berbagai perspektif mengenai seremoni Hari Batik Nasional berikut ini akan membuat kita berefleksi lebih jauh lagi.
Kawan Wastra, apa yang langsung melintas di kepala ketika mendengar “2 Oktober”? Mungkin sebagian dari kita tidak mengingat apa-apa. Tentu saja, itu tidak menjadi masalah. Tapi mungkin juga kita termasuk sebagian orang yang langsung ingat bahwa ini adalah Hari Batik Nasional, seperti Juliana Tirza yang langsung berpikir, “saatnya ke kantor pakai batik!” atau seperti Dwi Ratih Ramadhany yang menyadari, “Oh, berarti hari ini pakai batik.” Senada dengan mereka berdua, Rianti Manullang, juga sudah biasa melihat orang-orang memakai batik di kampus, transportasi publik, dan tempat-tempat umum lainnya dalam keseharian mereka. Tetapi dia mengemukakan bahwa 2 Oktober rasanya tetap lain dibanding hari-hari biasanya.
Makna Hari Batik bagi tiap orang tentu beragam. Sebagai seorang yang berasal dari Manado, Juliana Tirza menganggap perayaan ini biasa saja secara personal. Namun sebagai dosen di sebuah universitas di Tangerang, dia menambahkan bahwa Hari Batik itu penting karena memperingati sebuah produk kearifan lokal yang perlu kita jaga. Dhianita, seorang penulis dan periset dalam sastra dan kesenian, berpendapat kurang lebih sama. Memang ia tidak memiliki makna personal dan khusus tentang Hari Batik. Tapi dia sangat menyayangkan bila Hari Batik hanya menjadi sekadar sarana untuk memunculkan gimik.
Dhianita menambahkan perlunya memahami esensi batik sebagai produk budaya atau kesenian, juga sejarahnya, “..itu sayang sekali, mengingat batik, khususnya di Jawa, menurut penelitian Brandes di tahun 1889 merupakan salah satu dari sepuluh unsur kebudayaan yang telah dimiliki Nusantara sebelum datangnya pengaruh kebudayaan dari luar, terutama India. Kesepuluh unsur itu antara lain wayang, gamelan, ilmu irama sanjak, membatik, mengerjakan logam, sistem mata uang, ilmu pelayaran, astronomi, penanaman padi, dan birokrasi pemerintahan. Jadi menurutku semestinya Hari Batik dirayakan tidak hanya melalui gimik–yang sebenarnya jika bisa dikembangkan dengan sungguh-sungguh bisa menjadi gerakan (movement) di era sekarang ini, tetapi juga momentum penguatan pengetahuan tentang batik itu sendiri. Dengan begitu, akan ada makna yang lebih dalam dari Hari Batik.”
Sejalan dengan Dhianita, Rianti Manullang, yang berprofesi sebagai dosen budaya dan bahasa Belanda juga menambahkan, “Batik sebenarnya memiliki simbol-simbol yang menarik untuk ditelisik lebih jauh jika kita ingin mengenal Indonesia dan nilai-nilai budayanya. Jadi, hari Batik buat saya adalah hari untuk mempromosikan kesadaran akan belajar mengenai kebudayaan.” Sehingga ia berharap mudah-mudahan dengan perayaan ini, orang yang belum punya batik jadi ingin beli batik karena melihat banyak orang mengenakannya. Selanjutnya, yang sudah punya batik mungkin semakin tergerak untuk mempelajari makna di balik batik dan bahkan mempelajari bentuk dan produk kebudayaan lainnya.
Ada banyak hal yang kita nantikan di Hari Batik Nasional 2020 ini. Mungkin kita seperti Ian Sembiring yang sedang berada di perantauan, “Karena saya sedang ada di Cina, saya menunggu-nunggu untuk bisa menggunakan batik dan menjelaskan kepada teman-teman yang bukan orang Indonesia mengenai pakaian batik yang saya kenakan.” Atau mungkin kita seperti Rianti yang menantikan diskon produk-produk batik dan berharap bisa berfoto bersama dengan batik meski hanya secara virtual.
Ronald Tan, seorang guru, desainer, sekaligus pelancong berharap adanya berbagai kompetisi desain batik di tengah situasi pandemi yang mengharuskan kita untuk lebih banyak berdiam di rumah. Dia berpendapat bahwa kompetisi membuat motif batik dengan warna-warna yang lebih berani tanpa menghilangkan pola-pola atau unsur-unsur daerah yang diangkat baik untuk diadakan. Selain untuk mendorong kreativitas, kegiatan positif ini tentu akan menjadi hal yang baik untuk dikerjakan karena nilai produktivitasnya.
Masih berhubungan dengan aspek kreativitas dan pandemi, Dhianita menambahkan ide yang menarik. Ia berharap ada gagasan-gagasan cemerlang yang muncul di Hari Batik tahun ini. Yang sempat terpikir oleh Dhian adalah artistik sebagai media komunikasi publik. “Maksudku begini, di tengah situasi pandemi ini, muncul kembali wacana-wacana tentang bagaimana sebenarnya pengetahuan tradisi lokal memiliki ‘sistem pembacaan atas bencana’, yang kaitannya erat dengan isu kerusakan lingkungan. Aku terpikir pengetahuan tentang itu bisa diangkat dan dikomunikasikan, salah satunya melalui corak batik. Lalu aku membayangkan jika corak batik itu dijadikan bahan pakaian yang kita pakai, kita akan selalu eling (ingat) dengan tindakan kita sebagai manusia yang hidup di bumi.”
Bahkan ketika pandemi Covid-19 ini sudah berlalu pun, kita masih punya banyak pekerjaan rumah. Ada banyak ide menarik agar Hari Batik Nasional yang berikutnya bisa menjadikan negeri ini lebih baik. Ian berharap agar perayaan bisa lebih meriah agar batik makin dikenal di dunia internasional. Senada dengan Rianti Manullang yang ingin agar batik bisa masuk dalam kurikulum pembelajaran di sekolah atau kampus, Ronald Tan juga berharap besar agar batik mendapat tempat dalam dunia pendidikan. “…sesuai usia …ada yang mewarnai, menggambar sampai mencipta dalam obyek, seni terapan.” Tak lupa, dia juga menyebutkan bahwa pemerintah juga perlu lebih gencar memasukkan motif batik dalam kemasan produk asli Indonesia, apalagi yang diekspor.
Masih dalam kaitannya dengan ekonomi, Juliana Tirza menekankan pentingnya peningkatan kesejahteraan pengrajin batik agar generasi muda mampu melihat ini sebagai peluang di masa yang akan datang. Sehingga harapan Dwi Ratih Ramadhany tentang generasi muda yang turut merawat batik itu juga terlaksana. Dan akhirnya, sebagai penutup, Kawan Wastra yang membaca juga pasti akan setuju dengan Dhiannita, yang menegaskan Hari Batik bukan hanya tentang gimik, tapi menjadi momentum kesadaran tentang perlunya penguatan pengetahuan, pengembangan baik di bidang artistik ataupun industri, dan peningkatan kesejahteraan seniman batik. Dhian menambahkan langkah konkretnya, “… untuk Hari Batik yang akan datang misalnya ada lomba kreasi corak batik yang diadakan untuk seniman batik lokal/tradisi (bukan desainer visual atau penata busana profesional), atau seminar yang mengundang peneliti untuk melakukan riset tentang batik.”
Semoga. Wastra raya untuk Indonesia raya!