Dulu, saat hendak mengajukan sebuah proposal acara kepada penasehat organisasi di kampus, penulis dan teman-teman memutuskan untuk memakai motif batik Mega Mendung sebagai hiasan visual pada proposal tersebut. Meminta persetujuan penasehat klub atas sebuah acara tidak pernah mudah. Beliau adalah kepala bagian kemahasiswaan yang memiliki reputasi tidak terlalu ramah dengan mahasiswa. Banyak proposal yang beliau tolak mentah-mentah.
Betapa cemasnya kami saat mengulurkan proposal tersebut kepada sang penasehat organisasi. Tidak ada senyum di wajahnya. Tidak ada basa-basi, langsung membuka lembar demi lembar, memperhatikan setiap kata. Lalu, tiba-tiba perhatiannya teralihkan pada motif Mega Mendung yang ada pada setiap halaman proposal. Beliau bertanya, apakah ini hasil desain kami sendiri? Kami pun harus menjelaskan pada beliau bahwa motif tersebut adalah salah satu motif batik Indonesia. Penasehat organisasi kami adalah warga negara asing yang telah bertahun-tahun bekerja di kampus tersebut. Mendengar kata “batik”, beliau menunjukkan ketertarikan dan menanyakan banyak hal tentang motif tersebut.
Suasana yang sebelumnya tegang, akhirnya cair ketika kami mulai memberinya informasi tentang Mega Mendung. Kami membahas asal motif Mega Mendung, maknanya, sampai di mana bisa membeli kainnya. Beliau memuji keindahan motif batik tersebut. Artistik dan dinamis, menurutnya.
Mega Mendung, meskipun bukan satu-satunya batik dari Cirebon, tidak bisa tidak disebutkan saat berbicara tentang motif batik khas Cirebon. Pada artikel Wastra Raya yang berjudul “Batik Cirebon: Sebuah Pengantar”, kita sudah mengetahui bahwa batik Cirebon dipengaruhi oleh lima budaya berbeda, yakni Tiongkok, Eropa, Persia, Hindu, dan Cirebon sendiri. Nah, motif Mega Mendung ini dipercaya sebagai perpaduan antara budaya Cirebon dengan Tiongkok.
Masuknya budaya Tiongkok diawali dari kegiatan berdagang. Berkat pelabuhannya, kota Cirebon merupakan tempat persinggahan banyak pedagang asing, salah satunya dari negeri Tiongkok. Yang awalnya hanya hubungan perdagangan, pengaruh ini menjadi semakin kuat dengan pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien dari Tiongkok. Pernikahan ini membuka gerbang bagi kebudayaan Tiongkok untuk masuk ke keraton Cirebon.
Putri Ong Tien disebut membawa banyak pernak pernik asli dari negerinya seperti keramik, porselen dan kain sutera. Motif khas Tiongkok yang menghiasi benda-benda tersebut telah menginspirasi berbagai karya seni masyarakat lokal. Salah satunya adalah motif awan-awan. Motif awan inilah yang menjadi cikal bakal Mega Mendung. Seperti kita ketahui, kata mega berarti awan. Mega Mendung berarti awan mendung.
Tentu saja bentuk awan dari pernak-pernik Tiongkok tersebut tidak sama persis dengan yang sekarang kita kenal sebagai Mega Mendung. Diperkirakan pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Putri Ong Tien terjadi pada tahun 1540. Pada masa itu, Tiongkok berada di bawah pemerintahan Dinasi Ming. Kawan Wastra bisa melihat contoh motif awan dari porselen yang merupakan peninggalan Dinasti Ming di bawah ini. Bandingkan dengan motif Mega Mendung di bawahnya.
Walaupun menyerupai awan dari Tiongkok, Mega Mendung terlihat berbeda dengan desain yang lebih lonjong dan dipadukan dengan bentuk segitiga. Ini menunjukkan adanya campur tangan seniman batik Cirebon pada motif awan-awanan tersebut. Menilik paham Taoisme, motif awan merupakan simbol untuk dunia di “atas” yang dikaitkan dengan spiritualitas atau ketuhanan. Garis lengkung Mega Mendung tak terputus, dari lengkungan kecil yang keluar membentuk lengkungan besar dan kembali memutar ke lengkung kecil tadi, merepresentasikan kehidupan manusia yang utuh.
Masih terinspirasi motif awan Tiongkok, warna biru pun dominan pada batik Mega Mendung. Bedanya, biru pada motif Mega Mendung bergradasi dari biru muda hingga biru tua. Disebutkan, tujuh gradasi warna ini melambangkan tujuh lapisan langit. Warna biru yang terang menandakan cuaca yang cerah. Sementara yang gelap adalah perlambang awan yang mengandung hujan. Tersirat pesan bahwa kehidupan manusia tidak selalu bahagia saja, kadang-kadang ada masa yang lebih gelap menghampiri. Namun mendung dan hujan pun tidak selalu berarti buruk. Hujan dipercaya sebagai pembawa kesuburan yang tanpanya tak ada makhluk yang dapat bertahan hidup.
Seiring perkembangan zaman dan dinamisnya permintaan pasar, Mega Mendung juga semakin bervariasi. Sekarang ini, tidak hanya gradasi biru yang bisa kita jumpai, tapi juga berbagai warna lain. Selain warnanya yang kini bermacam-macam, motif ini juga kerap dikombinasikan dengan motif-motif lain seperti bunga-bungaan, kupu-kupu, atau burung.
Lebih lanjut lagi, jika dulu motif Mega Mendung hanya dikenakan oleh kalangan keraton, sekarang batik ini sudah dapat dipakai siapa saja. Kawan Wastra bahkan bisa menemukan taplak meja, sarung bantal atau sprei yang bermotif Mega Mendung. Jangan heran juga jika menemukan desain motif ini pada produk-produk yang bukan kain atau pakaian.
Produk interior berupa ukiran kayu atau blok glass sampai kotak tisu juga banyak yang bermotif Mega Mendung. Merek-merek ternama pun beberapa kali mengeluarkan produk dengan desain batik ini. Misalnya, produk pore pack yang dirilis tahun 2015 lalu. Baru-baru ini juga ada produk masker sekali pakai yang berhiaskan motif Mega Mendung. Ketika melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada Oktober 2020 lalu, Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga juga terlihat mengenakan masker yang berhiaskan motif Mega Mendung.
Terbukti dengan banyaknya produk komersial yang memakai desain ini, tidak salah jika Mega Mendung disebut sebagai salah satu motif yang paling diminati. Waktu itu, minat sang penasehat organisasi pada motif ini jugalah yang menyelamatkan penulis dan teman-teman ketika mengajukan proposal acara. Memang pada akhirnya proposal tersebut harus diperbaiki beberapa kali sampai akhirnya beliau mau memberi tanda tangan persetujuan. Namun, berbincang-bincang tentang motif batik Mega Mendung telah membuat pertemuan yang menakutkan tersebut menjadi lebih santai. Jadi, mungkin Kawan Wastra bisa menambahkan satu hal lagi di daftar kegunaan wastra, yaitu sebagai topik untuk mencairkan suasana. (KL)
Referensi:
Yusup, Irwan M. “Kajian Ikonografi Motif Mega Mendung Cirebon.” DESKOVI: Art and Design Journal, 2020, Vol. 3, No. 2, pp. 92-98.