Hari pernikahan adalah sebuah momen istimewa ketika dua pribadi yang datang dari berbagai latar belakang memutuskan untuk melebur menjadi satu. Begitu sakral, sehingga wajar bila siapapun orangnya, pasti akan mempersiapkannya dengan penuh cinta. Begitu pula dengan yang dialami Grace Tan Johannes dan Feby Bramandewi. Pada hari pernikahan, mereka dan pasangan memilih wastra sebagai media untuk merayakan cinta.
Grace yang kesehariannya menulis untuk Jakarta Globe dan Our Better World beserta pasangannya, Andra Fembrianto, memilih perpaduan Rote-Tionghoa-Jawa sebagai pernyataan identitas di hari bersejarah mereka. Melalui wastra yang dikenakan, mereka ingin mengakui sejarah keluarga mereka, darah yang mengalir pada mereka. Tenun Rote motif pribadi milik Oma Grace, yang memperlihatkan peleburan motif tiga marga, sengaja dibuat replikanya agar bisa dikenakan di hari pernikahan. Tenun tersebut dipadukan dengan cheongsam pada upacara pemberkatan untuk menghormarti leluhur Tionghoa Grace dan dipadukan dengan kebaya beludru dan beskap suami pada saat resepsi untuk menghormati budaya Jawa suami.
Sementara itu, Feby Bramandewi dari Wastra Raya dan pasangannya, Eduardus Pradipto memutuskan untuk menjadikan wastra sebagai media berekspresi mereka berdua dalam usaha membuat sejarah baru, berkeluarga. Melalui kain batik yang mereka buat sendiri motifnya untuk dikenakan sebagai dodot pada hari pernikahan, mereka memanjatkan harapan. Sedangkan lurik Klaten dan tenun Baduy mereka pilih sebagai pengingat akan sejarah perjalanan mereka berdua sebagai pasangan.
Mau tahu bagaimana mereka berdua mempersiapkan kain-kain ini? Ingin tahu bagaimana mereka mengikuti tradisi dan membuat modifikasi dari tradisi? Atau ingin mendapatkan tips seputar mempersiapkan pernikahan dengan konsep tradisi? Simak obrolan lengkapnya di episode keempat podcast Wastra Raya yang tersedia di Spotify, Anchor dan Google Podcasts.
@wastraraya @bramandewi @grace.tanjo @clarasiakiky
