Bulan Oktober, bulannya batik. Sejak diakui oleh UNESCO sebagai warisan tak benda pada 2 Oktober 2009, Oktober menjadi bulan penuh batik karena banyaknya perayaan yang dilakukan. Peran perajin sebagai penghasil karya tentunya besar dalam keberlangsungan seni batik di Indonesia dan tahun ini, Museum Tekstil Jakarta, Yayasan Batik Indonesia, Kemendikbud Republik Indonesia, Kok Bisa?, dan Google Arts & Culture merayakan Hari Batik Nasional lebih dulu di tanggal 1 Oktober melalui diskusi seputar batik. Ada Ibu Zazilah (Kampung Alam Malon, Semarang), Ibu Supiyah Anggriyani dan Bapak Hardjo Suwarno (Go Tik Swan, Surakarta), juga Bapak Rudi (Batik Kidang Mas, Lasem) yang berbagi cerita dan harapannya dipandu oleh Dhyanara Paramita (TelusuRI).
Dunia perbatikan di Semarang dinyatakan mati suri dan Bu Zazilah bersama Dekranasda di tahun 2006 mulai melatih ibu-ibu membatik sebagai upaya untuk membangkitkan kembali batik Semarang. Kampung Alam Malon yang terletak di perbatasan Kabupaten Semarang dan Kendal, dijadikan lokasi pilihan untuk menjalankan kegiatan pelestarian batik. Alasan utama dipilih warna alam adalah untuk tidak mencemarkan lingkungan sekitar dan keadaan Kampung Malon juga mendukung untuk penanaman bahan-bahan pewarna alam. Batik yang dihasilkan tidak hanya indah, namun juga aman untuk keberlangsungan lingkungan di sekitarnya.
Dari Semarang kita beralih ke Surakarta, tepatnya dari Ndalem Hardjonegaran, Ibu Supiyah Anggriyani menceritakan awal mula Go Tik Swan menciptakan motif batik. Sekitar tahun 1950an atas perintah Bung Karno, Go Tik Swan diminta untuk membuat batik Indonesia. Salah satu karya besarnya adalah motif Sawung Galing yang terinspirasi dari sabung ayam di Bali. Sebelum masa tanam padi, biasanya orang Bali melakukan sabung ayam dan darah ayam yang tumpah jatuh ke bumi dipercaya akan membawa kesuburan pada lahan tanam padi itu. Cerita-cerita semacam inilah yang membuat batik tidak hanya indah, namun juga penuh makna, dan beruntunglah kita yang mendapat warisan luhur seperti ini.
Dari Semarang, ke Surakarta, sekarang kita menuju Lasem. Daerah pesisir adalah tempat yang terbuka dengan pertemuan budaya karena banyak interaksi antara para pedagang. Batik Lasem mendokumentasikan akulturasi budaya Indonesia dan Cina yang sudah terjadi sejak tahun 1800an, menurut cerita Pak Rudi, generasi ke-6 Batik Kidang Mas. Perpaduan motif dari simbol-simbol kebudayaan Cina berpadu dengan kearifan lokal melahirkan corak khas yang membuat batik di Lasem istimewa.
Batik sudah diwariskan dari generasi ke generasi dan perlu untuk terus dilanjutkan ke generasi berikutnya. Para perajin menaruh harapan juga ke generasi penerus untuk terus melestarikan batik. Menurut Bu Zazilah, perlu ditumbuhkan rasa memiliki pada batik di kaum muda dan dorongan untuk terus mempelajari agar batik berumur panjang. Bu Supiyah mengingatkan untuk menaruh perhatian juga pada batik tulis yang proses pembuatannya sampai berbulan-bulan. Semakin kita mengerti bagaimana batik ini dibuat, semakin kita bisa mengapresiasi batik lebih baik lagi. Pak Rudi juga mengharapkan dukungan pemerintah dalam menghadirkan pelatihan batik, agar semakin banyak masyarakat yang merasakan pengalaman langsung dengan batik dan peran serta perlindungan batik lewat peraturan-peraturan pemerintah. Selamat Hari Batik Nasional!